Mentok, Bangka Barat — Ketika pemerintah daerah kembali menggelar seremoni, rapat koordinasi, dan kunjungan penuh kamera dalam rangka “mengatasi banjir”, warga Kampung Tanjung justru menemukan pertolongan bukan dari meja birokrasi, melainkan dari seorang perempuan bernama Fadilah dan empat wartawan lokal yaitu Komarudin, Rudy, Agus dan Belva yang datang membawa 800 karung beras, bukan spanduk sambutan.
Di satu sisi, Bupati Bangka Barat Markus, S.H., berbicara tentang usulan anggaran Rp300 miliar untuk banjir Mentok–Parit Tiga yang “masih menunggu persetujuan pusat”. Di sisi lain, lima orang biasa datang tanpa anggaran negara, tanpa protokoler, tanpa daftar penerima bantuan hanya siapa yang lapar, diberi makan.
Dua narasi terjadi pada minggu yang sama.
Yang satu bergerak.
Yang satu berfoto.
Kamis (11/12/2025), Danrem 045/Garuda Jaya melakukan kunjungan ke Kodim Bangka Barat. Suasana yang digambarkan sebagai “dialog santai” oleh Bupati Markus lebih menyerupai panggung seremoni tahunan barisan prajurit, pejabat menunggu aba-aba, dan sesi foto yang rapi.
Markus menegaskan perlunya sinergi keamanan demi mendorong pembangunan, tetapi tak ada satu pun solusi teknis tentang banjir yang puluhan tahun menjadi tamu tetap Mentok.
“Ini hanya bicara-bicara santai dengan beliau,” ucap Markus.
Santai sementara warga Kampung Tanjung sedang menimba air asin dari ruang tamu mereka.
Sementara itu, Pemkab kembali mengumumkan “rencana besar”:
Embung, kajian teknis, dan usulan anggaran Rp300 miliar yang statusnya masih menggantung di Jakarta.
Narasi yang selalu sama:
Musim hujan datang, banjir datang, pemerintah mengusulkan, pusat menimbang, warga menunggu.
Banjir tepat waktu.
Solusi datang seperti tamu yang tersesat.
Minggu dan Selasa (7 dan 9 Desember 2025), tanpa koordinasi, tanpa posko, tanpa spanduk, Fadilah dan para wartawan menembus rob Kampung Tanjung membawa:
Gelombang 1: 3 ton beras (600 karung)
Gelombang 2: 1 ton beras (200 karung)
Total: 4 ton / 800 karung
Setiap kepala keluarga mendapat satu karung beras lima kilogram. Tidak ada sesi foto, tidak ada pendataan rumit, tidak ada “tunggu disposisi”.
Ketua RW Kampung Sawah, Abu Hasan (45), tak mampu menahan tangis.
“Ini bukan sekadar bantuan. Ini penghormatan. Kami merasa sangat terbantu dengan bantuan beras ini” tegas Abu Hasan dihadapan awak media.
Seorang ibu berkata lirih.
“Biasanya wartawan datang dengan kamera. Kali ini mereka datang dengan belas kasih.” ucap ibu dengan nada lirih.
Kalimat yang menampar lebih keras daripada gelombang rob.
Sementara wartawan lain, Komarudin, mengatakan.
“Kami menulis berita setiap hari, tapi hari ini kami justru menjadi beritanya.” jawab Komarudin salah satu wartawan beserta sanak family menjadi korban dampak banjir.
Tak ada dana hibah.
Tak ada APBD.
Tak ada sidang.
Yang ada hanya kaki, peluh, dan karung beras yang dipanggul di tengah air asin.
Kunjungan Danrem memang penting secara simbolik.
Tetapi simbol tidak mengeringkan rumah warga.
Usulan Rp300 miliar memang terdengar megah.
Tetapi megah tidak sama dengan mengenyangkan.
800 karung beras mungkin terlihat kecil.
Tetapi kecil tidak sama dengan tidak bermakna.
Di Kampung Tanjung, beras adalah keselamatan yang bisa dimasak, bukan rencana yang menunggu persetujuan pusat.
Fadilah dan para wartawan tidak membawa “rencana”, mereka membawa hasil.
Di sepanjang jalan-jalan sempit dekat pesisir, rumah panggung mulai rapuh, tangga kayu licin oleh lumpur dan air asin.
Sementara rob naik hingga lutut, lima orang itu membagi beras sambil menenangkan warga.
Truk tua yang membawa 4 ton beras diparkir di dekat dermaga kecil.
Tak ada petugas protokol membuka jalan.
Tak ada ajudan menuntun langkah.
Hanya tangan-tangan manusia bertemu tangan-tangan manusia.
Di kejauhan, spanduk “Selamat Datang Danrem” masih tergantung.
Foto-foto kunjungan telah diunggah ke akun media sosial resmi.
Caption-nya rapi.
Sementara itu, warga di Kampung Tanjung berkata.
“Kami tidak butuh spanduk.
Kami butuh orang yang datang.”
Birokrasi punya panggung.
Warga punya genangan.
Pemerintah punya rencana 300 miliar.
Warga punya rumah yang tenggelam tanpa menunggu anggaran.
Kunker (kunjungan kerja) selalu tuntas tepat waktu.
Embung selalu tertunda tanpa kabar.
Dalam kalender pemerintah, kunjungan penting.
Dalam kalender warga, banjir lebih penting.
Pemerintah sibuk “memperkuat koordinasi”.
Warga sibuk memperkuat kaki agar tidak hanyut.
Pemerintah mengusulkan program berjuta-juta.
Fadilah dan wartawan memberikan beras yang bisa disantap malam itu juga.
Jika kebaikan diukur dari kecepatan, hari itu lima orang lebih cepat dari seluruh mesin birokrasi.
Jika kepedulian diukur dari tindakan, hari itu jurnalis justru lebih pemerintah daripada pemerintah itu sendiri.
Malam itu, ketika air rob turun perlahan dan lampu-lampu rumah kembali menyala satu per satu, warga Kampung Tanjung menceritakan satu kisah, yaitu
Bukan cerita tentang kunjungan Danrem.
Bukan cerita tentang usulan 300 miliar.
Bukan cerita tentang kajian yang belum dimulai.
Tapi tentang hari ketika lima orang biasa datang membawa manusia, bukan narasi.
Sementara pemerintah masih menunggu anggaran, warga sudah menerima bantuan.
Sementara pejabat masih berpidato, wartawan sudah memanggul karung.
Sementara seremoni kembali diulang, kemanusiaan menemukan jalannya sendiri.(Tim)


Social Header